Tingkatan Data | : | - |
Tahun pendataan | : | 24 September 2025 |
Tahun verifikasi dan validasi | : | 24 September 2025 |
Tahun penetapan | : | 24 September 2025 |
Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Selatan. |
Entitas kebudayaan | : | WBTB |
Domain WBTb UNESCO | : | Adat Istiadat Masyarakat, Ritus, dan Perayaan-Perayaan |
Kategori WBTb UNESCO | : | - |
Nama objek OPK | : | - |
Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
Kondisi sekarang | : | Masih Bertahan |
Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Selatan |
Updaya pelestarian | : | pengembangan, pemanfaatan, perlindungan |
Referensi | : | - |
Tanggal penerimaan formulir | : | - |
Tempat penerimaan formulir | : | - |
Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
Nama lembaga | : | - |
Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Adat Mawah
Mawah sering juga disebut bagi hasil (bagi hase) merupakan suatu akad kerjasama dalam mengelola lahan (tanah) atau peliharaan binatang ternak sering dipraktekkan dalam masyarakat di Aceh, dimana seseorang memberikan hartanya (modal/lahan) kepada orang lain untuk dikelola dengan pembagian hasilnya sesuai dengan kesepakatan atau perjanjian yang disepakati bersama. Konsep mawah merupakan suatu konsep dimana pihak yang memiliki modal/lahan, menyerahkan modal/lahannya kepada pihak lain untuk dikelola atau menjalankan suatu usaha dengan keuntungan dibagi antara pemilik pemodal/lahan dengan pengelola sesuai dengan kesepatan mereka. Konsep mawah pada masyarakat Aceh mempunyai kesamaan arti dengan Mudharabah didalam kajian fiqh. Mawah dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan bagi hasil. Dalam fiqh Islam dikenal dengan nama mudharabah atau qiradh, di Aceh dikenal dengan sebutan mawah, bagi hasil atau meudua Laba. Baik mudharabah maupun bagi hasil, keduanya memiliki pengertian yang sama dengan konsep mawah yang dikenal oleh masyarakat Aceh dan sangat membantu dalam upaya meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berkeadilan sosial. Pemberdayaan masyarakat melalui tradisi adat mawah biasa dilakukan oleh masyarakat golongan bawah atau mereka yang merupakan kelompok lemah dari sisi ekonomi, dimana tujuan dari pemberdayaan masyarakat ini agar masyarakat yang berekonomi lemah dapat meningkatkan kemampuan sosial ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat. Adat Mawah telah dipraktekkan sejak kesultanan Aceh sekitar abad ke-16 M. Mawah adalah sistem seseorang menyerahkan asetnya (tanah, binatang ternak dan lain-lain) kepada orang lain untuk dikelola kemudian keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan, praktek ini terus dipertahankan dan masih berlangsung sampai dengan sekarang. Pelaksanaan Adat Mawah masih banyak dijumpai dalam masyarakat di gampong-gampong di Aceh. Praktek mawah ini sangat populer dalam masyarakat sehingga dengan adanya praktek mawah ini banyak membantu kehidupan masyarakat itu sendiri. Praktek mawah sangat membantu dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam aktifitas ekonomi, pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin dan membuka lapangan pekerjaan, juga membantu masyarakat yang mempunyai lahannya tidak tergarap untuk bisa tergarap, dan meningkatkan produktifitas tanah/lahan sehingga tidak ada lagi lahan yang terlantar atau tidak diusahakan (tanoh roh). Mawah atau dalam istilah ekonomi Islam sama artinya dengan istilah mudharabah (bagi hasil), dimana pemilik lahan/modal menyerahkan lahan/modalnya kepada pihak lain untuk dikelola atau diusahakan, sehingga ia mendapatkan keuntungan bersama. Bentuk usaha ini melibatkan para pihak, y aitu pihak pemilik lahan/modal dan pihak pengelola/yang mengusahakan dan saling menguntungkan. Didalam sistem Adat Mawah tidak mengenal pemilik modal lebih untung atau lebih tinggi derajatnya dengan pengelola lahan/modal. Disini tidak mengenal pihak pemilik lebih tinggi derajatnya dengan pihak pengelola (setara) mereka sama-sama akan menikmati hasil dan keuntungannya. Demikian juga kalau usaha mereka mengalami kegagalan atau kerugian, maka mereka sama- sama mengalami kerugian. Adat Mawah menghasilkan keuntungan bersama dari suatu usaha yang dikerjakan atau yang diusahakan, dimana keuntungan dari hasil usaha tersebut dibagi kepada pihak yang saling terikat yaitu antara pemilik lahan dan pengelola. Pada sistem mawah yang paling menarik adalah kesetaraan antara pemilik dan pengelola, tidak mengenal buruh dan majikan, tidak dikenal stratifikasi antara pemilik dan pengelola, akan tetapi mempunyai kekuasaan dan kewenangan masing-masing yang proporsional dan saling menghargai. Pihak satu tidak mengintervensi pihak lain, namun mengacu pada akad perjanjian/kesepakatan. Keuntungan dibagi berdasarkan prosentase sebagaimana kesepakatan/perjanjian. Pelaksanaan adat mawah yang sering dipraktekkan dalam masyarakat meliputi : 1. Mawah Tanah Sawah Ada beberapa hal yang diatur dalam praktek mawah tanah sawah antara lain : 1. Bentuk pembagian hasil pemilik dan penggarap; Pembagian hasil pada mawah tanah sawah biasanya disebut bulueng. Pembagian ini erat kaitannya dengan letak sawah, jauh dekatnya sawah dengan akses jalan, mudah tidaknya sumber air dan gangguan dari hama (babi, burung pipit, dll). Pembahagian hasil (bulueng), disepakati sebelumnya atau menurut kebiasaan yang telah ada pada kondisi tersebut. Semakin tinggi pengorbanan yang diberikan petani pengarap maka semakin besar pula porsi pembahagian hasil (bulueng) yang diperoleh. Demikian pula sebaliknya, semakin mudah dalam mengurusi tanaman/padi maka semakin kecil porsi pembagian hasil yang diperoleh. Hal ini disepakati sebelum usaha pertanian tersebut dikerjakan. 2. Bentuk keuntungan bagi hasil; Hasil panen yang diperoleh dibagi berdasarkan bulueng yang telah disepakati atau sesuai dengan kebiasaan setempat dimana lahan tanah sawah itu berada. Dalam prakteknya pembahagiaan bulueng ada yang dibagi tiga (bulung 3), artinya satu bahagian (1/3) dari hasil panen diserahkan menjadi hak pemilik lahan/sawah dan dua bahagian (2/3) menjadi hak penggarap sawah. Ada yang mempraktekkan bulueng 4, artinya 1/4 dari hasil panen (25%) menjadi hak pemilik lahan dan 3/4 (75%) menjadi hak petani penggarap, demikian juga bulueng 5 yaitu 1/5 (20%) dari hasil panen menjadi hak pemilik lahan dan 4/5 (80%) menjadi hak petani penggarap. Bulueng yang diperoleh dan menjadi hak pemilik lahan biasanya diantar kerumah atau di kediaman pemilik lahan. Hal ini untuk menghargai pemilik lahan yang telah mempercayakan tanah sawahnya dikelola oleh petani penggarap. Namun ada juga pembahagian bulueng dilaksanakan pada saat menghitung hasil panen (sukat hase) Ketika semua kegiatan panen telah selesai dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar pemilik lahan dapat menyaksikan hasil yang diperoleh pada musim panen tersebut. Pada saat yang sama juga dijelaskan jumlah semua hasil panen yang diperoleh, kesepakatan pembagian bulueng, dan sampai tidaknya nisab zakat. 3. Jangka waktu mawah tanah sawah. Perjanjian mawah tanah sawah biasanya ditentukan jangka waktunya, misalnya 2 tahun, 3 tahun atau 5 tahun atau sebagaimana kesepakatan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi dominasi petani penggarap terhadap lahan tanah sawah tersebut untuk menghindari kesewenang-wenangan pemilik lahan untuk mengambil kembali lahan/tanah sawahnya atau mengalihkan kepada pihak lain tanpa sepengetahuan atau pemberitahuan pada penggarap pertama. Pada beberapa tempat, jangka waktu mawah tanah sawah tidak ditentukan, namun ada kesepakatan apabila pemilik lahan ingin mengambil kembali tanah mawah tersebut petani penggarap dengan rela menyerahkan kembali kepada pemilik lahan. 2. Mawah binatang Ternak, Mawah binatang ternak dibedakan dalam beberapa kategori yaitu : a. Mawah Sapi/ Kerbau Adat mawah sapi biasanya sama dengan adat mawah kerbau. Sapi jantan yang digembalakan, keuntungannya di bagi 2 setelah dikurangi modal (meudua laba), misalnya modal sapi jantan Rp. 5.000.000, (lima juta rupiah). satu tahun kemudian sapi tersebut dijual dengan harga Rp. 8.000.000, (delapan juta rupiah). Keuntungan yang diperoleh Rp. 3.000.000 (Rp. 8.000.000 – Rp. 5.000.000) dibagi 2 antara pemilik ternak dengan pengembala ternak (50% : 50%). keuntungan sebesar Rp. 3.000.000 dibagi 2, 50% untuk pengembala dan 50% pemilik ternak. Jadi pengembala mendapat Rp. 1.500.000 dan pemilik ternak mendapatkan Rp. 1.500.000. sedangkan modal Rp. 5.000.000 tetap menjadi hak pemilik ternak. Pada akad perjanjian mawah anak sapi jantan yang dilahirkan pada induk sapi yang di mawahkan, perjanjian akad mawah paling cepat berumur 2 tahun atau telah ditusuk hidungnya untuk tali pengikat (pasang gleung hidoeng). Pada saat ini sapi diberi taksiran harganya dalam bentuk rupiah. Apabila suatu saat anak sapi tersebut dijual, maka keuntungan yang diperoleh juga dibagi sama antara pemilik dan peternak (medua laba). Modal yang dikeluarkan oleh pemilik sapi akan dikembalikan terlebih dahulu, kemudian keuntungan yang diperoleh setelah dikurangi modal dibagi 2. Pada sapi betina keuntungan yang diperoleh dari anak sapi yang digembalakan juga dibagi sama (medua laba), misalnya sapi betina itu mempunyai 2 anak maka dibagi 2 (50% : 50%). 1 anak sapi untuk pengembala dan 1 anak sapi lagi untuk pemilik sapi, sementara induknya tetap menjadi hak pemilik sapi. Lain halnya yang digembalakan itu sapi betina yang masih kecil umur dibawah 2 tahun, mempertimbangkan masa pemeliharaan sapi ini relatif lama sampai ia dapat melahirkan anak, maka pembagiannya dibagi 4 (75% : 25%). Biasanya dalam adat mawah anak sapi pertama yang dilahirkan tersebut 3 kaki (75%) untuk pengembala dan satu kaki (25%) untuk pemilik ternak. Hal ini dimaksudkan karena pengorbanan pengembala relatif lebih lama bila dibandingkan dengan sapi yang sudah dewasa. Demikian juga bila induk sapi tersebut belum pernah melahirkan anak, namun dalam keadaan bunting maka pembagian hasil berdasarkan perjanjian pemilik dan perternak misalnya bagi 2 (1/2 : 1/2), dibagi 3 (1/3 : 2/3) atau 40% : 60% atau tergantung perjanjian. Apabila lahir anak sapi ke 2, ke 3, ke 4 dan seterusnya maka pembagian hasil di bagi 2 (medua laba) antara peternak dan pemilik ternak. b. Mawah kambing/biri-biri Pada adat mawah kambing atau biri-biri keuntungan yang diperoleh dibagi sama (meudua laba) (50% untuk peternak dan 50% untuk pemilik ternak). Disini tidak dipermasalahkan jenis kelamin ternak jantan ataupun betina. Pembagian hasil dilakukan pada ternak berumur 1 tahun. Misalnya kambing melahirkan 2 anaknya maka dibagi 2 antara pemilik dan peternak. Induk kambing kambing tetap menjadi hak pemilik. Apabila perjanjian mawah ternak berakhir atau peternak tidak bersedia lagi maka induk ternak dikembalikan kepada pemiliknya. c. Mawah Unggas (ayam/bebek) Adat mawah ungas (ayam/bebek) umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga, anak unggas yang telah berumur 6 bulan hasilnya dibagi sama 50% untuk pemilik dan 50% untuk peternak, sementara induknya tetap menjadi hak pemilik 3. Mawah Tanah Kebun, pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pengelola untuk ditanami tanaman atau dibuka usaha lain yang produktif yang hasilnya akan dibagi berdasarkan kesepakatan dengan pemilik tanah sesuai dengan perjanjian awal. Dalam pelaksanaan mawah kebun petani penggarap berkewajiban mengurusi kebun tersebut dengan sebaik-baiknya. Tanah kebun dan pagar harus dalam perawatan. Kewajiban penggarap untuk merawat dan membersihkan. Hasil yang diperoleh dari kebun dibagi berdasarkan kesepakatan dengan pemilik kebun. Misalnya bagi 3 atau bagi 4. Pada pembagian dibagi 3, untuk penggarap 2 (2/3) bagian dan untuk pemilik 1 (1/3) bagian. 4. Mawah perikanan, Pada mawah tambak ikan/udang, pemilik tambak menyerahkan tambaknya kepada petani tambak untuk diusahakan misalnya pemeliharaan ikan atau udang. Apabila pemilik tambak mengikutsertakan modalnya dalam pemeliharaan ikan/udang seperti pembibitan, pemupukan, pemberian pakan, pemberantasan hama dll, maka pembagian hasil disepakati dengan petani tambak. Biasanya 1/3 dari keuntungan untuk petani dan 2/3 untuk pemilik tambak atau sebaliknya (tergantung perjanjian). Pada pemilik tambak yang hanya menyerahkan tambaknya tanpa menyertakan modal, tentu pembagian hasilnya berbeda dengan yang menyertakan modal. Semakin besar penyertaan modal semakin besar juga prosentase mendapatkan keuntungan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara pemilik dan petani tambak. Manfaat Adat Mawah bagi masyarakat antara lain: 1. Solusi bagi petani penggarap yang tidak memiliki lahan. 2. Solusi bagi peternak yang tidak memiliki modal 3. Meningkatkan taraf ekonomi masyarakat. 4. Menghindari praktek ekonomi riba. 5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial. Penyelesaian Sengketa Adat Mawah melalui Peradilan Adat Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum Adat merupakan hukum pelengkap, demikian juga di Aceh, dalam berhubungan satu dengan lainnya tunduk kepada peraturan perundang- undangan dan ketentuan hukum Adat. Adat mawah dalam kehidupan bermasyarakat tunduk kepada ketentuan hukum adat yang merupakan ciri khas di Aceh dengan filosofi “Adat bak po teumureuhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang reusam bak laksamana”. Sengketa Mawah dapat diselesaikan melalui peradilan adat, baik ditingkat gampong maupun ditingkat mukim. Pihak-pihak yang merasa dirugikan atau tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dapat mengajukan penyelesaian melalui peradilan adat, yaitu mengadukan kepada Keuchik Gampong atau Imeum Meunasah atau Tuha Peut Gampong sebagai Lembaga adat di Gampong untuk menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Lembaga Adat di Gampong memanggil para pihak yang melapor dan terlapor untuk diselesaikan perselisihan. Upaya peradilan adat di Gampong dilakukan untuk mendamaikan para pihak yang berselisih. Perselisihan sengketa adat mawah biasanya dapat diselesaikan di dengan putusan mendamaikan sehingga tidak ada pihak yang disalahkan dan dikalahkan. Ungkapan “ie ceuko ta peujeureungeh, muka masam tapeu mameh. nyang rayek ta peu ubit, nyang ubit tapeu gadoh” menjadi motto dalam penyelesaian peradilan adat di Gampong. KESIMPULAN 1. Pemberdayaan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk membantu orang lain untuk meningkatkan kemampuan bidang ekonomi maupun sosial. 2. Adat Mawah merupakan suatu sistem bagi hasil yang dipratekkan dalam masyarakat Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. 3. Pelaksanaan Praktek Mawah adalah dimana pemilik lahan/modal menyerahkan lahan/modal kepada pengelola dengan perjanjian keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. 4. Hukum Mawah sebagaimana dipraktekan oleh masyarakat Aceh sangat dianjurkan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam, karena mempunyai nilai kerja sama dan saling menguntungkan. 5. Penyelesaian sengketa pada sistem adat mawah diselesaikan melalui peradilan Adat baik di tingkat Gampong maupun di tingkat Mukim. SARAN 1. Disarankan kepada masyarakat Aceh untuk terus menggalakkan dan mempertahankan adat mawah karena sangat bermanfaat dan saling menguntukan dari segi ekonomi dan pemberdayaan. 2. Disarankan kepada pemangku kepentingan untuk membuat aturan-aturan (kanun) yang berhubungan dengan adat mawah agar menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menyelesaikan sengketa mawah.