Tingkatan Data | : | - |
Tahun pendataan | : | 24 September 2025 |
Tahun verifikasi dan validasi | : | 24 September 2025 |
Tahun penetapan | : | 24 September 2025 |
Sebaran kabupaten/kota | : | Kabupaten Aceh Barat. |
Entitas kebudayaan | : | WBTB |
Domain WBTb UNESCO | : | Seni Pertunjukan |
Kategori WBTb UNESCO | : | Tarian |
Nama objek OPK | : | - |
Wilayah atau level administrasi | : | Provinsi |
Kondisi sekarang | : | Sudah Berkurang |
Kabupaten/Kota | : | Kabupaten Aceh Barat |
Updaya pelestarian | : | pengembangan, pemanfaatan, perlindungan, |
Referensi | : | - |
Tanggal penerimaan formulir | : | - |
Tempat penerimaan formulir | : | - |
Nama petugas penerimaan formulir | : | - |
Nama lembaga | : | - |
Nama lembaga | : | - |
WBTb
Nama Lainnya : Tari Pho
Pengertian Tari Pho menjadi salah satu tarian yang sangat populer di kawasan Aceh Barat sehingga menjadi bagian tradisi yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat Aceh Barat. Tari Pho merupakan tari tradisional khas daerah Aceh Barat. Perkataan Pho berasal dari kata peuba-e po, peuba-e artinya meuratok atau meratap, Po adalah panggilan penghormatan dari rakyat/hamba kepada Yang Maha Kuasa (yang memiliki) misalnya Po Teu Allah, Po Teumeureuhom, Teuku Po, Ureung Po dan lain-lain. Aspek Sejarah Tarian Pho berasal dari legenda kisah sedih atas terhukum matinya dua remaja (putra dan putri) karena fitnah. Konon tempo dulu di daerah perbatasan Aceh Barat dan Aceh Selatan (sekarang masuk daerah administratif Aceh Barat Daya) terdapat suatu kerajaan yang bernama “Kerajaan Kuala Batee” hiduplah seorang anak perempuan berparas cantik yang telah ditinggalkan oleh ibunya yang telah berpulang ke Rahmatullah. Anak itu bernama Madion, dipelihara oleh Makwanya (kakak dari ibunya). Makwanya juga memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Malelang. Setelah menjelang dewasa terniatlah dihati Makwanya untuk menjodohkan anak-anak tersebut. Untuk perjodohan tersebut, sambil menunggu keduanya dewasa, dilakukan persiapan-persiapan sebagai berikut: a. Sekeliling rumah ditanami dengan pohon inai (pacar) atau bak gaca, pohon pinang, pisang dan lain-lain. b. Perlengkapan pengantin menurut adat istiadat pada waktu itu Alkisah pada suatu hari Malelang disuruh oleh ibunya memanjat pohon pinang, Madion melihat abangnya sedang memanjat, lantas ia datang berlari-lari meminta pinang tersebut, sehingga ia memanjat pagar untuk mengambil buah pinang yang sedang diturunkan oleh Malelang. Tanpa disangka-sangka celananya tersangkut dipagar dan robek sedang pahanya sedikit mengeluarkan darah. Kemudian pinang ditangan Malelang diambil lalu berlari pulang. Sayang nasib anak-anak tersebut kejadian itu diintip dan dilihat oleh seseorang yang lamaran/pinangannya terhadap Madion telah ditolak. Lantas timbul niat jahatnya untuk memfitnah kedua remaja itu, dan melaporkan kejadian itu kepada Raja dan mengatakan bahwa Madion dan Malelang telah menodai kampung mereka dengan melakukan zina di bawah pohon pinang terbukti dengan robeknya celana Madion dan darah dipahanya. Mendengar fitnahan tersebut raja sangat murka dan tanpa berpikir panjang datanglah sang Raja kerumah ibu anak-anak tersebut mengatakan bahwa Madion dan Malelang akan dihukum mati karena telah melakukan zina. Mendengar keputusan Raja tersebut sangatlah sedih hati ibu mereka, dan memohon kepada Raja agar diberikan tempo sebelum hukuman dilaksanakan. Maka raja memberi tempo selama 7 (tujuh) hari. Dalam waktu tersebut, anak-anak itu diberi inai pada kaki dan tangannya. Daun Inai diambil 7 (tujuh) pucuk dan diukir pada kaki dan tangannya, seolah-olah mereka telah dinikahkan dan diberi perhiasan seindah-indahnya. Setelah tiba hari yang dijanjikan, yaitu pada hari ke 7 (tujuh) tibalah panglima panglima Raja untuk melaksanakan hukuman mati. Anak-anak tersebut diletakkan dalam peti kaca dan digiring kesebuah tanah lapang tempat pelaksanaan hukuman mati mereka. Setelah hukuman dilaksanakan, jenazah mereka dipulangkan kerumah ibunya. Saat itulah ibu mereka meratapi kepergian anak-anaknya. Ratapan tersebut dilakukan dengan meletakkan jenazah keduanya ditengah-tengah lingkaran, sambil ibu tersebut berpantun dan bersyair dengan sedihnya berlinang air mata. Inilah asal usul pola dasar tari pho yang berbentuk lingkaran. Kisah Malelang dan Madion itulah yang menjadi cikal bakal Tari Pho yang dapat dinikmati hingga sekarang ini. Akan tetapi versinya banyak berubah dari waktu ke waktu. Aspek Perkembangan. Seiring dengan perkembangan zaman, Tari Pho mengalami perubahan bentuk menyesuaikan permintaan terhadap kebutuhan penampilan di panggung. Dahulu di Aceh Barat, Tari Pho diperuntukkan melepas kematian tokoh-tokoh penting, artinya Tari Pho hadir dalam tradisi berduka. Sedangkan Tari Pho di Aceh Selatan cenderung ditampilkan pada acara suka cita semisal perkawinan dan khitanan dengan maksud menghibur penonton dan tuan rumah. Itulah sebabnya Tari Pho versi kedua daerah ini memiliki kesan yang saling bertolak belakang. Sejak pasca kedatangan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, fungsi tarian ini mulai berubah menjadi tarian yang ditampilkan dalam ritual adat masyarakat di Aceh Barat. Aspek Fungsi dan Nilai Secara fungsi, tarian ini juga sudah mengalami perubahan, di mana tarian ini melalui syair-syairnya menjadi penghantar nasihat, terutama jika di tarikan sebagai pengiring adat peumano untuk pengantin, yang berisi nasihat seorang ibu dan keluarganya kepada anak yang akan menikah. Biasanya tarian pho ditarikan oleh wanita dengan jumlah genap antara 8 sampai 12 orang dan diiringi oleh syair-syair yang dilantunkan oleh satu atau dua orang syahi. Seorang syahi berada di samping panggung sambil menyanyikan syair sesuai dengan permintaan pihak penyelenggara sehingga yang bertahan dari legenda tersebut hanya unsur “Peuba-e”, “meuratok” atau peratapannya saja. Syair yang digunakan adalah syair yang bernuansa sejarah dan nasehat. Syair pertama dinyanyikan oleh syahi dan kemudian disambut oleh para penari. Penampilan Tari Pho ini diadakan pada pagi dan siang/sore hari. Berikut beberapa nilai yang terkandung dalam tari Pho, 1. Nilai Nasehat Meskipun tarian ini berasl dari ratapan (Aceh; phoe), sejatinya tarian ini mengandung makna nasehat betapa kasih sayang orang tua terhadap anak yang tak pernah terkikis oleh kondisi apapun. 2. Nilai Pendidikan Dalam tarian pho yang beranjan dari ratapan seorang ibu terhadap anak karena difitnah dan dihukum oleh raja, ada unsur pendidikan moral, di mana fitnah merupakan perangai yang tidak baik secara moral. Maka, menghindari fitnah menjadi salah satu pesan penting dalam pendidikan moral pada tari pho. 3. Nilai hiburan masyarakat agaris Tarian ini juga mengandung nilai hiburan bagi masyarakat agraris, karena dipentaskan di beberapa even ritual masyarakat Aceh, seperti perkawinan hingga khitanan. Apalagi, dalam syair tari pho juga tersirat pesan-pesan bagi masyarakat agraris, khususnya pertanian. Proses Tari Pho Gerakan tarian ini adalah gerakan sederhana seperti membentuk lingkaran dan berkeliling menghentakkan kaki secara serentak, Tempat penyaji Tari Pho ini diadakan di pentas terbuka dan bisa juga di dalam gedung. Dalam penyajian Tari Pho, gerak itu terdiri atas beberapa fase (babak) yaitu sebagai berikut: 1. Saleum Dua orang memasuki arena pertunjukan sebagai syahi dengan menyanyikan syair saleum/salam. Kedua tangan dalam posisi sembah setengah dada. Diikuti dengan keluarnya penari-penari lain secara berbaris sambil menyahut apa yang diucapkan oleh syahi. Selanjutnya barisan ini mengambil tempat dengan berdiri berbanjar menghadap penonton. Syairnya : Assalamualaikum Bapak disino Nyopat kamoe katroh meuteuka Jaroe lon siploh lon beot lapan Meuah lon tuan beuraya-raya Raneub neu pajoh bungkoh neu pulang Bek jeut ke utang singoh ngon lusa Ranub kunengan sawo bak ara Ranub kamoe ba neu ujo rasa 2. Bineuh Syahi memulai nyanyian pembukaan bineuh dan para penari mengikuti irama lagu tersebut sambil membentuk sebuah lingkaran dengan berkeliling serta menghentakkan kaki kelantai secara serentak badan agak membungkuk miring yang diiringi syair mengisahkan kejadian Madion dan Malelang. Syairnya : Oo Bineuh lon balek laen Puteh licen seuot beurata Bungong meulu cut keumang cot uroe Pasoe dalam glah keu ubat mata 3. Tron Ta Jak Manoe Gerak tarian yang menggambarkan cara kebiasaan seorang ibu memandikan anaknya. Komposisi gerak tari ialah 4 (empat) orang dimuka, sehingga membentuk 2 (dua) orang yang berperan sebagai pengantin duduk, sedangkan 2 (dua) orang lainnya berdiri. Yang 4 (empat) orang lainnya berdiri dibelakang dengan bentuk setengah lingkaran. Syairnya : Tron tajak manoe dara baroe tron tajak manoe Oh lheh manoe lake seunalen ija san dusen seunalen manoe Geubah gaca bak paleut jaroe Gaca meuke tujoh bah tangke Dara baroe geuboh ngon andam Ceudah hana ban takaloen rupa Dara 4. Jak Kutimang Gerak tarian yang menggambarkan cara seorang ibu mendendangkan sayang anaknya dengan penuh mesra, komposisi gerak tari ini dibagi dua (masing-masing empat orang) dengan gerak Lingkaran yang bentuknya sama Dengan Syair: Jak kutimang hai aneuk meujak kutimang Bungong keumang hai aneuk meuboh hate ma Jak ku dodo do do da idi Merpati pho ka patah teuot Bungong rayeuk yang jino seni Supaya maju seni budaya 5. Ayon Aneuk Gerak tari yang menggambarkan cara seorang ibu yang sedang membuai anaknya di dalam ayun. Komposisi gerak tari ialah 6 orang masing-masing 3 orang yang membuat setengah lingkaran, 2 orang lainnya berada di masing-masing sisi setengah lingkaran tersebut. 6. Lanie Gerak tari yang bercorak hiburan, nasehat, bercerita dan lain-lain diantaranya: - Peulot Manok - Bineuh Bungong Rawatu - Tum Bede Antara lain, Syairnya: Peulot Manok Peulot Manok dalam gelanggang Tuak Kelantan si rajawali Peulot manok bak jambo madat Sisek ji ilat meble me cahya Manok jalak ngon manok bireng Sabe tat lagak ta kalon rupa Menyo talo manok lon tuan Lon ganto laju yang sabe teugah Bineuh Bungong Rawatu Oh Bineh bungong rawatu Meutalu lam laot raya O bineuh sin yak dong dirat Tapot bungong erat paso lam ija Bungaong mancang keumang tat uro Luroh lam karang oh keunong uro Tum beude Tum beude tum beude, tum beude bela negara 2 x Teuku umar Johan Pahlawan Syahid di gobnyan di Ujong Kalak Di Ujong Kalak Tugu Pahlawan Tanda di Sinan Syahid Panglima 7. Saleum Penutup. Disini diberi contoh-contoh syair yang dinyanyikan menurut babak yang disebut diatas. Untuk saleum umpamanya : salam’alaikum Bapak disino nyo pat kamo ka tro meuteka dan seterusnya. Untuk beneuh umpamanya : oh beneuh lom balek laen, puteh licen seot berata dan seterusnya. Untuk jak kutimang : jak kutimang oh aneuk jak kutimang bungong keumang oh aneuk jantong hatema dan seterusnya. Untuk ayon aneuk : Aleu jak ma ayon oh aneuk ma ayon dodi oh aneuk manyak malaeu lon. Para Penampil tari pho menggunakan busana adat Aceh, untuk baju syahi dan penari dibedakan dari warnanya, misal baju penari berwarna kuning maka syahi menggunakan warna merah. Busana Adat Aceh yang digunakan biasanya terdiri dari Baju, Celana bertunjung warna hitam dengan hiasan/jahitan kasab, kain sarung songket, dan selendang, warna-warna yang biasa dikenakan adalah warna Merah, Hijau, Kuning dan Hitam. Warna Merah melambangkan kepahlawanan, warna Hijau untuk melambangkan keagamaan, warna Kuning melambangkan kerajaan dan Hitam menggambarkan ketegasan. Asesoris yang digunakan antara lain sanggul Aceh yang terletak diatas sedikit miring ke kanan, bunga goyang/sunteng, gelang tangan dan gelang kaki, saputangan yang juga berwarna merah, kuning dan hijau. Bineuh Bungong Rawatu Oh Bineh bungong rawatu Meutalu lam laot raya O bineuh sin yak dong dirat Tapot bungong erat paso lam ija Bungaong mancang keumang tat uro Luroh lam karang oh keunong uro Tum beude Tum beude tum beude, tum beude bela negara 2 x Teuku umar Johan Pahlawan Syahid di gobnyan di Ujong Kalak Di Ujong Kalak Tugu Pahlawan Tanda di Sinan Syahid Panglima 7. Saleum Penutup. Disini diberi contoh-contoh syair yang dinyanyikan menurut babak yang disebut diatas. Untuk saleum umpamanya : salam’alaikum Bapak disino nyo pat kamo ka tro meuteka dan seterusnya. Untuk beneuh umpamanya : oh beneuh lom balek laen, puteh licen seot berata dan seterusnya. Untuk jak kutimang : jak kutimang oh aneuk jak kutimang bungong keumang oh aneuk jantong hatema dan seterusnya. Untuk ayon aneuk : Aleu jak ma ayon oh aneuk ma ayon dodi oh aneuk manyak malaeu lon. Atribut Tari Pho Para Penampil tari pho menggunakan busana adat aceh, untuk baju syahi dan penari dibedakan dari warnanya, misal baju penari berwarna kuning maka syahi menggunakan warna merah. Busana Adat Aceh yang digunakan biasanya terdiri dari Baju, Celana bertunjung warna hitam dengan hiasan/jahitan kasab, kain sarung songket, dan selendang, warna-warna yang biasa dikenakan adalah warna Merah, Hijau, Kuning dan Hitam. Warna Merah melambangkan kepahlawanan, warna Hijau untuk melambangkan keagamaan, warna Kuning melambangkan kerajaan dan Hitam menggambarkan ketegasan. Asesoris yang digunakan antara lain sanggul Aceh yang terletak diatas sedikit miring ke kanan, bunga goyang/sunteng, gelang tangan dan gelang kaki, saputangan yang juga berwarna merah, kuning dan hijau. Menurut Hj. Cut Asiah, seni pertunjukan tari pho telah ada sejak dahulu, diperkirakan berkembang pada masa penjajahan Belanda atau pada sekitar awal abad ke-20, jika menilik dari lirik yang ada pada saat Tum Beude yang menyebutkan tentang kewafatan pahlawan nasional Teuku Umar. Tarian ini sudah dikenal ketika Belanda memasuki awal abad ke-20. Tarian Pho dari Sanggar Pocut Baren Pimpinan Hj. Cut Asiah, pertama kali ditampilkan pada tahun 1978, Beliau berguru dari Cut Mariam dan Cut Licen, seterusnya tampil dalam berbagai kegiatan kebudayaan, baik di dalam negeri maupun dalam luar negeri, event PKA 1 sampai dengan PKA 7 di Banda Aceh. Juga pernah tampil di Kota Medan, Jakarta, Padang, dan Jogjakarta. Di Luar Negeri tampil di Kuala Lumpur, Malaysia dan Thailand. Cut Asiah adalah satu-satunya maestro yang masih mengingat versi awal Tari Pho kebanggaan orang Aceh Barat. Di usianya yang telah 85 tahun, sangat berharap agar generasi muda dapat melestarikan kebudayaan dan adat istiadat setempat, agar tak lekang dimakan masa dan generasi muda khususnya masih mau mempelajari tari pho ini. Beliau juga sangat mengharapkan agar event-event budaya dapat digiatkan kembali sebagai sarana para seniman berkarya.